Rabu, 18 Februari 2009

PUTRI BANJAR DI TANAH DAYAK

Oleh: Marko Mahin

Bangunan berwarna kuning berbentuk rumah adat Banjar itu, memang agak
tersembunyi di balik rimbunan pohon karet yang tumbuh subur. Kalau kita
bepergian dari Banjarmasin ke Tamiang Layang dan melintasi Desa Jaar, bangunan
itu tidak tampak dari jalan raya. Sebuah bangunan sekolah dasar akan
menghalangi pandangan kita.

Menurut tetuha adat di Desa Jaar, di dalam bangunan berbentuk rumah adat Banjar
itu terdapat pusara Putri Mayang Sari. Ia adalah putri Sultan Banjar yang
pernah menjadi pemimpin di Tanah Dayak Ma'anyan. Karena itu bagi orang Dayak
Maanyan, bangunan unik itu mempunyai arti dan makna tersendiri.

Tulisan ini bertujuan memaparkan hubungan antara Urang Banjar dan Urang
Ma'anyan yang bersumber dari tradisi lisan. Dalam mengumpulkan data untuk bahan
tulisan ini, saya dibantu Hadi Saputra Miter, putra Dayak Ma'anyan asal Tamiang
Layang yang sekarang kuliah di STT-GKE Banjarmasin.

Putri Mayang Sari

Menurut sejarah lisan orang Dayak Ma'anyan, Mayang Sari yang adalah putri
Sultan Suriansyah yang bergelar Panembahan Batu Habang dari istri keduanya,
Noorhayati. Putri Mayang Sari dilahirkan di Keraton Peristirahatan Kayu Tangi
pada 13 Juni 1858, yang dalam penanggalan Dayak Ma'anyan disebut Wulan
Kasawalas Paras Kajang Mamma'i. Sedangkan Noorhayati sendiri, menurut tradisi
lisan orang Dayak Ma'anyan adalah perempuan Ma'anyan cucu dari Labai Lamiah,
tokoh mubaligh Suku Dayak Ma'anyan.

Putri Mayang Sari diserahkan oleh Sultan Suriansyah kepada Uria Mapas, pemimpin
dari tanah Ma'anyan di wilayah Jaar Sangarasi. Dituturkan, dalam kesalahpahaman
Pangeran Suriansyah membunuh saudara Uria Mapas yang bernama Uria Rin'nyan
yaitu pemimpin di wilayah Hadiwalang yang sekarang bernama Dayu. Akibatnya,
Sultan Suriansyah terkena denda Adat Bali, yaitu selain membayar sejumlah
barang adat juga harus menyerahkan anaknya sebagai ganti orang yang dibunuhnya.

Setelah Uria Mapas meninggal dunia, penduduk setempat mengangkat Putri Mayang
Sari untuk memimpin daerah Sangarasi yang sekarang bernama Ja'ar --lima
kilometer dari Tamiang Layang. Kepemimpinan Mayang Sari sangat diakui
masyarakat setempat, karena selain putri dari seorang Sultan Banjar, ia adalah
saudara angkat Uria Mapas Negara.

Dalam tradisi Dayak Ma'anyan, Putri Mayang Sari dicitrakan sebagai perempuan
berambut panjang dan berparas cantik. Namun bukan hanya kecantikan yang
mempesona dimilikinya, tetapi kemampuan menyejahterakan rakyat di wilayah yang
dipimpinnya. Dituturkan, pada masa hidupnya Putri Mayang Sari tidak pernah
diam. Ia rajin mengadakan kunjungan ke desa untuk mengetahui kehidupan rakyat
yang sebenarnya, dan secara khusus untuk mengetahui bagaimana ketahanan pangan
masyarakat. Ia selalu mengawasi bagaimana hasil panen masyarakat. Untuk
meningkatkan hasil panen, Putri Mayang Sari menganjurkan agar penduduk menanam
padi di daerah berair, karena hasil panennya lebih baik daripada di daerah
kering (tegalan).

Rute kunjungan Putri Mayang Sari setiap tahun adalah melewati daerah timur
yakni Uwei, Jangkung, Waruken, Tanjung. Kemudian daerah barat yaitu Tangkan,
Serabun, Beto, Dayu, Patai, Harara dan kembali ke Jaar Sangarasi. Menurut
kepercayaan orang Dayak Ma'anyan, daerah atau wilayah yang dikunjungi atau
dilewati Putri Mayang Sari itu selalu mendapat berkah-keberuntungan, misalnya
pohon buah berbuah lebat. Konon, buah langsat di daerah Tanjung yang terkenal
manis dan disenangi banyak orang adalah karena daerah Tanjung adalah tempat
singgah Putri Mayang Sari.

Kendati beragama Islam, dalam menjalankan pemerintahannya Putri Mayang Sari
menggunakan sistem mantir epat pangulu isa yaitu sistem pemerintahan
tradisional Dayak Ma'anyan. Dalam pola kepemimpinan ini, satu wilayah ditangani
empat pemimpin (mantir) dan satu pengulu. Empat mantir mengurus masalah
pemerintahan, sedangkan pengulu mengatur seluk beluk Hukum Adat. Dalam
pemerintahannya memang ada dua hal yang diprioritaskan, yaitu terpenuhnya
kebutuhan pangan rakyat dan tegaknya Hukum Adat yang bagi orang Dayak Ma'anyan
adalah tataaturan kehidupan.

Setelah mengalami sakit selama tiga hari, pada 15 Oktober 1615 atau dalam
penanggalan Dayak Ma'anyan disebut Wulan Katiga Paras Kajang Minau, Putri
Mayang sari wafat. Karena kecintaan rakyat kepadanya, jasadnya tidak langsung
dikuburkan, tetapi disemayamkan terlebih dahulu di dalam rumah hingga kering.
Setelah mengering, karena cairan dari mayat disalurkan ke dalam tempayan, jasad
Putri Mayang dibawa ke seluruh daerah agar semua rakyat mendapat kesempatan
memberikan penghormatan terakhir kepada pemimpin mereka yang telah meninggal
dunia. Akhirnya, jenazah Putri disemayamkan di Sangarasi yaitu wilayah Jaar
sekarang.

Urang Banjar Dan Ma'anyan

Tradisi lisan orang Dayak Ma'anyan memang banyak bertutur tentang relasi antara
Urang Banjar dan Urang Ma'anyan. Misalnya dituturkan, orang Ma'anyan pada
mulanya adalah penghuni Kayu Tangi. Karena itu, orang Ma'anyan, dalam bahasa
ritual wadian, menyebut dirinya sebagai anak nanyu hengka Kayu Tangi. Hal itu
untuk menunjukkan, sebelum hidup terserak di beberapa wilayah sekarang, mereka
tinggal di Kayu Tangi, yaitu wilayah yang sekarang berkembang menjadi Kota
Banjarmasin.

Dalam Sejarah Banjar (2003: 36-7) dituliskan, sebelum berdirinya Kesultanan
Banjarmasin pada 1526, bahkan sebelum adanya Negara Dipa dan Negara Daha
sebagai cikal-bakal Kesultanan Banjarmasin, berdiri satu negara etnik orang
Ma'anyan yang bernama Nansarunai. Karena kuatnya usak jawa atau Jawa yang
merusak yaitu gempuran dari Majapahit, mereka harus pergi dari Nansarunai.

Juga dituturkan tentang seorang tokoh bernama Labai Lamiah. Konon, ia adalah
orang Dayak Ma'anyan pertama yang menjadi muallaf dan mubaligh. Ia berdakwah di
wilayah Nagara yang masyarakatnya pada waktu itu adalah campuran antara suku
Dayak Ma'anyan dan mantan prajurit Majapahit yang masih memeluk agama Hindu
Syiwa.

Labai Lamiah berhasil mengislamkan orang-orang Ma'anyan yang ada di Banua Lawas
atau sekarang disebut Pasar Arba, tidak jauh dari Kalua. Akibatnya, Balai Adat
orang Ma'anyan di tempat itu berubah fungsi menjadi Masjid. Hingga sekarang, di
halaman masjid itu masih dapat ditemukan beberapa guci yang menjadi simbol
keberadaan orang Ma'anyan.

Orang Dayak Ma'anyan yang memeluk Islam disebut jari hakey. Pada awalnya,
sebutan hakey ditujukan kepada utusan Raja Banjar yang hadir dalam Ijambe
(upacara kematian). Ketika mereka dengan sopan menolak memakan daging babi yang
dihidangkan dan menjelaskan alasannya, orang Ma'anyan berkata: "O ... hakahiye
sa" (o ... begitukah). Berdasarkan ucapan itu, semua orang Banjar, muslim dan
orang Dayak Ma'anyan yang beragama Islam disebut hakey.

Adanya kaum yang bahakey membuat orang Ma'anyan tidak lagi satu warna. Mereka
yang bertahan dengan adat, pergi meninggalkan wilayah Kerajaan Banjar mencari
tempat baru. Dipimpin Uria Napulangit, mereka pergi ke dan menetap di tepi
Sungai Siong di sebelah baratdaya Tamiang Layang sekarang.

Namun rasa persaudaraan mereka dengan kerabat yang bahakey tetap terjalin. Hal
itu tampak dengan dibangunnya Balai Adat yang dikhususkan untuk muslim, yang
mereka sebut Balai Hakey. Bangunan ini dapat dilihat dalam upacara besar Dayak
Ma'anyan seperti Ijambe (upacara pembakaran mayat), khususnya di masyarakat
Paju Epat (nama wilayah empat kampung besar). Di Balai itu, masakan yang
disajikan harus disembelih secara Islam oleh perwakilan yang beragama Islam.

Hingga kini, Balai Hakey tetap didirikan oleh orang Dayak Ma'anyan setiap kali
ada Ijambe. Balai yang kokoh, sekokoh sikap toleransi orang Ma'anyan.

Perekat Sosial

Hikmat atau kearifan memang ada di mana-mana. Ia berseru di pinggir jalan
memanggil orang untuk menghampirinya, demikian kata Penulis Amsal. Ia ada di
mana saja termasuk di dalam tradisi lisan.

Bagi masyarakat yang belum mengenal budaya tulis-menulis, tradisi lisan
merupakan sarana untuk menyimpan sejarah silam kehidupan suku. Lebih dari itu,
tradisi lisan juga sarana untuk menguraikan jati diri. Karena itu, dalam
upacara penting misalnya Ijambe, tradisi lisan selalu dituturkan.

Paparan di atas memperlihatkan betapa dahsyatnya Urang Ma'anyan menguraikan
jati dirinya ketika berhadapan dengan Urang Banjar. Tentu saja, hal itu
dilakukan karena Banjar tidak sekadar identitas suku, tetapi juga identitas
politik, sosial, ekonomi dan agama. Banjar sebagai identitas agama tampak dalam
adagium 'Banjar berarti Islam dan Islam berarti Banjar'.

Namun bagi orang Ma'anyan, adagium bersosok dingin itu tidak harus
dikontestasikan. Tidak perlu jalan merah yang sarat amarah, apalagi pertumpahan
darah. Bagi mereka, Banjar adalah hakey yaitu saudara mereka yang memeluk agama
Islam. Tradisi lisan telah menjadi referensi kultural mereka untuk bersikap
ramah kepada siapa pun, kendati berbeda agama dan keyakinan. Juga menjadi
rujukan politik, ketika menerima seseorang yang tidak seagama dengan mereka
untuk menjadi pemimpin mereka. Tradisi lisan telah menjadi sumber kearifan
untuk merekatkan persaudaraan dan kekerabatan.

Tradisi lisan memang seumpama teks Kitab Suci, punya daya paksa yang tinggi
namun cara kerjanya sangat halus sehingga tidak terasa sama sekali. Hal ini
tampak dari berdirinya bangunan rumah adat Banjar yang adalah makam Putri
Mayang Sari di Desa Jaar, Tamiang Layang, Kalteng. Mereka mendirikan bangunan
itu berdasarkan tradisi lisan Putri Banjar di Tanah Ma'anyan. Lebih jauh lagi,
tempat pemakaman Putri Mayang Sari itu baru saja dipugar oleh Pemkab Barito
Timur. Ini petanda, sekarang pun beliau masih dihormati masyarakat setempat.

Secara fisik, bangunan itu adalah makam Putri Mayang Sari. Namun secara
metafisik, bangunan itu adalah terusan batin persaudaraan yang menghubungkan
Urang Dayak Ma'anyan dengan Urang Banjar. Juga menjadi media budaya dan sumber
sejarah, di mana mereka dapat merunut benang merah kekerabatan dengan orang
Banjar dan kemudian berkata: "Kalian bukan orang lain."

Penulis adalah Pengajar di STT-GKE Banjarmasin
e-mail: marko_mahin@xxxxxxxxx